Penambahan Dana Bantuan Partai Politik: Urgensi & Pertanggungjawabannya

 Penambahan Dana Bantuan Partai Politik: Urgensi & Pertanggungjawabannya

Menyambung opini saya sebelumnya tentang rekrutmen partai politik dan menyoal hukuman para koruptor, kini kita mencoba membahas mengenai salah satu langkah yang dipercaya dapat menjadi bagian dari pencegahan korupsi yang dilakukan tepat ke jantung pilar demokrasi yakni Partai Politik (Parpol).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR RI untuk menambah besaran dana bantuan partai politik (banpol) yang berasal dari APBN. Rekomendasi ini dimaksudkan untuk menjadi bagian pencegahan tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi di internal parpol.

Pemerintah berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2018 telah memberikan banpol sebanyak Rp. 1000 persuara nasional. Namun, menurut KPK dan LIPI dana ini masih belum cukup sehingga direkomendasikan menjadi Rp. 8.641 per suara.

Rekomendasi ini berasal dari penelitian yang dilakukan KPK bersama LIPI terhadap lima parpol yakni Golkar, PDIP, Gerindra dan PKS. Penelitian menemukan kelima partai tersebut rata-rata mengeluarkan Rp. 16.922 untuk mendapatkan satu suara.

Idealnya menurut penelitian tersebut negara mengongkosi 50% dari kebutuhan partai sehingga keluarlah angka Rp. 8.641 tersebut. Banpol hanya boleh digunakan untuk membiayai operasional partai serta pendidikan kaderisasi partai dan tidak boleh digunakan untuk kontestasi atau kampanye politik.

Mekanisme pemberian menurut KPK dilakukan pada tingkat nasional dan daerah. Pada level nasional pembiayaannya dilakukan dengan skema bertahap selama lima tahun. Tahun pertama diberikan 30%, di tahun kedua 50%, tahun ketiga 70%, tahun keempat 80% hingga tahun kelima menjadi 100% dari 50% bantuan pendanaan negara kepada parpol.

Dengan estimasi dan skema pendanaan tersebut maka untuk tahun pertama di tingkat pusat, negara perlu mengalokasikan dana Rp320 miliar dengan asumsi suara pemilih 126 juta pada pemilu 2019. Membandingkan dengan APBN 2019 sekitar Rp2.400 triliun, angka ini relatif kecil yakni 0,0046%. Hingga tahun kelima estimasi total bantuan pendanaan yang akan dialokasikan negara untuk parpol sebesar Rp3,9 triliun.

Sedangkan, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan PP No. 1 tahun 2018 bahwa pendanaan provinsi naik 20% dari pendanaan tingkat nasional dan kabupaten/kota naik 50%. Maka, di tahun pertama negara perlu mengalokasikan dana Rp928,7 miliar. Dengan skema peningkatan bertahap dan estimasi inflasi 5%, maka hingga tahun kelima untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota negara perlu mengalokasikan dana total Rp 11,2 triliun. Sehingga, total secara nasional pendanaan negara untuk keuangan parpol sebesar Rp15,1 triliun.

Urgensi

KPK mencatat, dari 891 koruptor yang dijerat lembaga tersebut, sebanyak 545 atau 61,17 persen adalah aktor politik. Mereka terdiri 69 anggota DPR, 169 anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 pihak terkait aktor politik.

Dengan fakta tersebut parpol dianggap sebagai bagian dari pusat korupsi. Meski belum bisa dibuktikan aliran dana korupsi mengalir ke parpol namun sering kita dengar adanya sistem setoran yang dilakukan oleh kader partai yang menjabat kepada partainya. Termasuk antara lain mahar politik menjadi caleg dan kepala daerah.

Biaya mendirikan dan menjalankan operasional parpol memang sangat besar. Koordinator Bidang Hukum ICW, Donal Fariz berdasarkan penelitiannya mengatakan biaya operasional parpol sangat besar mencapai Rp. 200-250 miliar tiap tahun.

Sebagai Plt Ketum PSI saya tidak menampik hal itu. Meski PSI tidak memiliki pengeluaran sebesar itu namun harus diakui operasional parpol memang tinggi. Mendekati pemilu, kebutuhan dana parpol bahkan makin tinggi. Untuk menyediakan saksi di 809.000 unit TPS se-Indonesia saja setidaknya parpol harus menyediakan dana sebanyak Rp.200 miliar. Sungguh angka yang besar sekali.

Sebab inilah menurut analisa banyak pakar kader parpol sering terlibat korupsi. Pengurus memiliki tanggungjawab untuk menjalankan operasional partai termasuk pendanaannya. Karena semua pengurus belum tentu memiliki kemampuan untuk menanggung dana operasional partai maka siapapun kader yang menjabat dianggap harus turut andil dalam menanggung biaya partai.

Di titik inilah rekrutmen parpol menjadi isu yang kritis dimana rekrutmen tidak dilakukan secara demokratis tetapi berdasarkan relasi dan kekerabatan. Sehingga kader-kader yang lahir bukanlah kader yang memiliki kompetensi dan integritas melainkan kader yang memiliki pendanaan yang besar.

Tanpa integritas, dengan biaya modal yang tinggi maka kader parpol ini cenderung akan melakukan korupsi. Berangkat dari kenyataan inilah, salah satu upaya revolutif untuk menghentikan praktik korupsi politik adalah mendorong pembiayaan negara kepada parpol.

Pertanggungjawaban

Penambahan banpol hingga mencapai 50 % dari total kebutuhan operasional parpol bisa menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk memaksa implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol. Parpol manapun saya kira juga akan bersenang hati memberikan laporan penggunaan banpol dengan sebaik-baiknya kepada publik sehingga parpol tidak selalu dituduh menyembunyikan dana ilegal dan sumbangan dari pihak yang menuntut imbalan.

Transparansi dan akuntabilitas laporan menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Karena itu sistem pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan dana banpol ini semestinya dilakukan dengan lebih ketat.

Dalam Undang-undang No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, telah diatur bahwa parpol diwajibkan untuk memberikan laporan penggunaan dana banpol setiap tahun untuk diaudit. Bila parpol tidak memberikan laporan keuangan untuk diperiksa BPK maka parpol diberikan sanksi administratif berupa tidak diberikan bantuan keuangan APBN/APBD pada tahun anggaran berkenaan.

Saya rasa aturan ini masih terlalu ringan, perlu kiranya diusulkan adanya keterlibatan pengawasan publik. Memberikan kesempatan bagi publik untuk dapat mengakses laporan penggunaan banpol yang diumumkan ke publik. Selain itu perlu juga lembaga independen yang berdiri khusus atau melekat kepada lembaga resmi seperti Bawaslu yang memiliki kewenangan pengawasan sekaligus untuk menjatuhkan sanksi.

Kemudian mekanisme penegakan hukum semestinya juga dipertegas dan diperberat. Sanksi administratif yang diberikan saya rasa masih terlalu ringan sehingga perlu kiranya sanksi diberikan lebih keras. Apabila parpol terbukti melakukan korupsi banpol maka parpol tersebut dilarang ikut dalam pemilu di wilayah dimana terjadi tindak pidana korupsi tersebut.

Bagi parpol, sanksi ini sangat berat namun hal ini memang perlu dipertegas. Jangan sampai penambahan banpol ini nantinya serupa menggarami air laut, berharap mencegah korupsi namun justru menjadi lahan korupsi baru.

Bagi PSI sebagai bagian dari parpol yang akan menerima manfaat banpol ini, semakin tegas sanksi semakin baik karena uang rakyat harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.

Bagaimanapun usulan penambahan besaran banpol ini telah melalui penelitian yang serius dan mendalam yang dilakukan oleh KPK bersama LIPI demi pencegahan korupsi yang lebih baik. Kita percaya dengan integritas kedua lembaga ini. Karena itu mari kita serahkan kepada Pemerintah dan DPR RI untuk memutuskan formula kenaikan banpol ini dengan sebaik-baiknya. Tentu tidak dalam waktu dekat karena pandemi dan kesulitan keuangan rakyat saat ini lebih membutuhkan perhatian pemerintah.

Facebook Comments
Komentar Facebook