Memperbaiki Sistem Rekrutmen Partai Politik

 Memperbaiki Sistem Rekrutmen Partai Politik

Temuan Survey Transparency International Indonesia menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Survey yang dinamakan Global Corruption Barometer (GCB) itu dilakukan pada 15 Juni -24 Juli 2020 di 28 Provinsi dengan melibatkan 1000 responden rumah tangga. Di tingkat Asia, survey GCB juga dilakukan di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, Mongolia, Nepal, India, Bangladesh, Maladewa, Myanmar, Kamboja, Thailand, Filipna dan Malaysia.

Dari temuan survey didapatkan bahwa sebanyak 51 % responden mempersepsikan DPR RI sebagai lembaga terkorup disusul pejabat pemerintah daerah sebanyak 48 %, Polisi 33%, pebisnis 25%, Hakim/pengadilan 24%, Presiden/menteri 20%, LSM 19%, TNI 8% dan pemuka agama 7%.

Meskipun survey mengukur persepsi publik namun data dan fakta korupsi di Indonesia mengkonfirmasi hal itu. Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW) sepanjang 2014-2019 sebanyak 254 anggota dewan menjadi tersangka korupsi. Sebanyak 22 orang dari angka tersebut adalah anggota DPR dari partai Golkar 8 orang, Partai Demokrat dan PAN masing-masing 3 orang, PDIP 2 orang, Hanura 2 orang, Nasdem 1 orang, PKB 1 orang, PKS 1 orang dan PPP 1 orang.

Bila dihitung sejak 2010 – 2019 data ICW menyajikan ada 586 anggota DPR RI dan anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Sementara pejabat daerah yang korupsi sejak tahun 2005 menurut ketua KPK Firly Bahuri sebanyak 300 orang kepala daerah.

Persoalan Rekrutmen Parpol

Menurut mantan anggota Lembaga Kajian MPR Ahmad Farhan Hamid, banyaknya kader partai yang terjerat korupsi disebabkan oleh karakter yang tidak benar dalam rekrutmen politisi oleh karena itu sistem rekrutmen partai politik harus diperbaiki (Kompas 04/08/18).

Di Indonesia boleh dikatakan rekrutmen pejabat publik termasuk rekrutmen calon legislatif (caleg) tidak dapat dilepaskan dari pola-pola patron-klien. Patron klien ini acapkali menumbuhkan model rekrutmen yang berdasarkan kekerabatan, dinasti atau koncoisme.

Elit partai lebih dominan menentukan siapa yang akan diusung menjadi caleg bahkan hingga menentukan nomor urut dalam kertas suara. Dengan leluasa mereka menempatkan orang yang mereka inginkan dengan berbagai tujuan antara lain untuk memperkuat posisi mereka di partai politik (parpol).

Rekrutmen caleg jarang sekali melakukan seleksi dengan mempertimbangkan kemampuan, intelektualitas dan integritas yang bersangkutan. Yang menjadi pertimbangan utama elit partai seringkali adalah “ 3 tas” yakni popularitas, elektabilitas dan isi tas.

Popularitas adalah tingkat keterkenalan calon pejabat publik di mata publik. Hal ini bisa menjelaskan mengapa banyak parpol yang mengusung figur publik sebagai caleg mereka.

Elektabilitas juga menjadi pertimbangan utama. Karena itu mantan pejabat publik seperti mantan anggota DPR, bupati dan walikota dijadikan rebutan oleh parpol untuk menjadi caleg.

Sedangkan “isi tas” adalah modal finansial caleg yang sesungguhnya menjadi pertimbangan utama dalam rekrutmen. Modal finansial dianggap terpenting karena karena selama ini proses demokrasi di Indonesia diketahui sebagai proses yang berbiaya tinggi.

Menurut riset Puskapol UI, anggota DPR RI terpilih 2019-2024 didominasi oleh Inkamben (43,2 %) pengusaha (29 %) dan profesional (4%). Data tersebut mengkonfirmasi bahwa yang diusung dan terpilih berasal dari kriteria popularitas, elektabilitas dan isi tas yang kesemuanya dimiliki oleh inkamben lalu diikuti oleh pengusaha.

Dengan 3 kriteria diatas tidaklah mengherankan ada beberapa parpol yang tidak segan mengusung mantan koruptor sebagai caleg. Berdasarkan data KPU pada pemilu legislatif 2019 yang lalu terdapat 72 caleg DPRD I dan II yang merupakan eks koruptor. Hanya ada 2 parpol yang tidak mengusung caleg mantan koruptor yakni PSI dan Nasdem (Kompas.com, 19/02/2019).

Dari kasus-kasus yang menimpa elit politik kita, variabel penting seperti kompetensi, integritas, rekam jejak dan moral politik semestinya tidak diabaikan dalam rekrutmen politik. Membiasakan popularitas, elektabilitas dan isi tas dalam melakukan rekrutmen hanya akan mengekalkan politik transaksional alias politik uang dalam sistem politik kita yang sesungguhnya menjadi pemicu utama terjadinya kasus-kasus korupsi.

Keterlibatan Publik

Pola rekrutmen parpol setidaknya bisa kita bagi menjadi pola inklusif dan ekslusif. Rekrutmen inklusif melibatkan publik sedangkan rekrutmen ekslusif hanya melibatkan pengurus dan pimpinan partai. Dalam mengupayakan sistem rekrutmen yang terbuka, demokratis dan akuntabel maka seleksi caleg dan pejabat publik lainnya semestinya melibatkan publik selain keterlibatan pengurus dan pimpinan partai.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), publik/pemilih diberikan kesempatan untuk melakukan seleksi pejabat publik. AS menggunakan mekanisme primary election atau pemilihan pendahuluan untuk memilih calon pejabat publik yang akan diusung parpol. Hasil pemilihan pendahuluan inilah yang nantinya akan diusung oleh parpol dalam pemilu.

Di Rumania, proses rekrutmen ini juga dilakukan secara terbuka/inklusif karena parpol di negara ini menganggap pasokan SDM sangat penting untuk mengisi keterwakilan kelompok-kelompok sosial seperti kelompok pekerja, perempuan dan etnis minoritas.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam pemilihan legislatif 2019 lalu telah mencoba membawa tradisi baru dalam rekrutmen caleg baik di pusat maupun daerah. PSI melakukan rekrutmen inklusif dengan membuka kesempatan bagi semua masyarakat untuk menjadi caleg DPR RI maupun caleg DPRD di seluruh Indonesia.

Untuk caleg DPR RI, PSI melakukan seleksi terbuka yang dimulai dengan seleksi administrasi dan seleksi wawancara dengan keterlibatan panelis independen. Panelis independen inilah yang menguji kompetensi dan integritas dari bakal caleg yang mendaftar ke PSI.

Panel Independen ini diisi oleh tokoh nasional berintegritas seperti Mahfud MD selaku Ketua Panelis, Bibit Samad Rianto (mantan wakil KPK), Zainal Arifin Mochtar ( tokoh anti korupsi), Ade Armando (pakar komunikasi), Saparinah Sadli (tokoh gerakan perempuan), Goenawan Mohamad ( Jurnalis Senior) serta beberapa tokoh lainnya yang bersedia karena menganggap rekrutmen terbuka ini adalah hal baru yang baik bagi masa depan politik Indonesia.

Seleksi yang dilakukan panelis ini mencakup tentang kompetensi calon dalam memahami tata kelola pemerintahan, integritas dan kejujuran, moral politik dan pemahaman tentang nasionalisme. Rekrutmen ini sama sekali tidak menyinggung mengenai popularitas, elektabilitas dan isi tas peserta karena PSI melakukan seleksi untuk mendapatkan caleg yang benar-benar memiliki kualitas yang dibutuhkan seorang wakil rakyat. Proses seleksi ini dilakukan dengan transparan dan dapat diikuti oleh publik melalui chanel youtube dan media sosial lain yang disediakan oleh PSI.

Meskipun PSI akhirnya belum memenuhi ambang batas Parliamentary Treshold namun proses rekrutmen terbuka ini telah menjadi rekam jejak PSI untuk berusaha memberikan caleg yang memiliki kompetensi, integritas dan moral politik yang teruji bagi pemilih. Kedepannya PSI akan terus melakukan rekrutmen inklusif melibatkan panelis independen dengan berbagai penyempurnaan dalam sistemnya.

Kita berharap sistem rekrutmen parpol dapat diperbaiki untuk lebih terbuka, demokratis dan akuntabel serta lebih mengedepankan kompetensi dan integritas. Ketiadaan sistem rekrutmen yang seperti itu akan berdampak pada terpilihnya pejabat publik yang hanya mengandalkan popularitas, modal finansial besar atau hubungan kekerabatan dengan elit partai belaka. Bila ini terus terjadi maka akan susah mengubah wajah DPR RI yang dipersepsikan publik sebagai lembaga terkorup di Indonesia.

Facebook Comments
Komentar Facebook