Menyoal Hukuman Para Koruptor

 Menyoal Hukuman Para Koruptor

Penangkapan dua orang menteri kabinet Presiden Joko Widodo dalam selang waktu berdekatan memberikan kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baik bahwa di tengah kepesimisan publik terhadap kewenangan KPK ternyata KPK dapat membuktikan masih menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Kabar buruk bahwa masih banyak pejabat negara yang melakukan korupsi dan itu mengindikasikan pemberantasan korupsi masih jauh dari kata selesai.

Edhy Prabowo yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ditangkap karena dugaan menerima suap dari ekspor benih lobster. Sementara itu Juliari Batubara yang menjabat Menteri Sosial ditangkap karena dugaan suap pengelolaan dana bantuan sosial penanganan covid 19. Juliari diduga menerima suap Rp. 33.000 dari setiap paket bantuan sosial untuk rakyat miskin.

Penangkapan dua menteri kabinet Presiden Joko Widodo ini menyusul penangkapan dua menteri kabinet periode sebelumnya yakni Imam Nahrawi (kasus suap Asian Games senilai RP. 26,5 M) dan Idrus Marham kasus suap PLTU Riau-1.

Beberapa tahun terakhir kasus korupsi Indonesia sesungguhnya terlihat menurun. Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW), selama empat tahun terakhir, jumlah kasus korupsi menurun drastis. Peneliti ICW Tama S. Langkun mengatakan pada 2017 aparat penegak hukum mengungkap 576 kasus korupsi yang kemudian menurun menjadi 454 kasus di 2018. Pada tahun 2019 kasus korupsi menurun menjadi 271 kasus, turun hampir 50 %.

Meskipun penurunan kasus terjadi namun kerugian negara justru bertambah tinggi. Data ICW memperlihatkan kerugian negara melonjak hampir tiga kali lipat dari Rp. 3,1 T pada tahun 2015 menjadi Rp. 8,4 T pada tahun 2019.

Data dan fakta ini mengindikasikan kepada kita bahwa penegakan pemberantasan korupsi belumlah memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Kita tidak memandang rendah apa yang dilakukan KPK, Polisi dan Kejaksaan dalam melakukan penegakan hukum pemberantasan korupsi namun kita harus mengakui bahwa gerakan pemberantasan korupsi belumlah mencatat progress yang signifikan.

Hukuman Mati

Kalau kita cermati, hukuman bagi koruptor di Indonesia masih terbilang sangat ringan. Menurut pengamatan ICW sepanjang Januari 2020 – Juni 2020 pelaku korupsi rata-rata hanya divonis 3 tahun penjara. Hukuman 3 tahun penjara ini merupakan ironi karena korupsi yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan luar biasa hanya divonis dengan kategori hukuman ringan.

Pemberian hukuman ringan bagi koruptor jelas tidak memuaskan keinginan publik. Publik menginginkan pelaku korupsi dihukum seberat-beratnya karena selain menyolong uang rakyat juga memberikan ekses negatif kepada pembangunan. Memberikan hukuman minimalis hanya akan membuat pelaku korupsi terus bermunculan dan semakin sulit ditekan. Pemberian hukuman minimalis juga memberikan makna kepada publik bahwa hakim tindak pidana korupsi masih belum tegas untuk memberikan efek jera bagi koruptor.

Presiden Joko Widodo pada peringatan hari antikorupsi sedunia 9 Desember 2020 melontarkan pernyataan bahwa bisa saja menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Pernyataan ini memberikan sedikit harapan bahwa bila benar penegak hukum mau dan mampu memberikan hukuman eksra berat termasuk hukuman mati bagi koruptor maka efek jera bagi calon pelaku korup mungkin akan berhasil didapat.

Secara aturan perundang-undangan, hukuman mati sudah tertuang dalam UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, sejauh ini kita melihat semangat penegak hukum masih jauh dari penerapan hukuman mati. Kita memahami bahwa Indonesia juga terikat dengan konvensi – konvensi yang menentang hukuman mati oleh karena itu pilihan hukuman berat seumur hidup untuk menggantikan hukuman mati semestinya layak untuk dipertimbangkan.

Memiskinkan Koruptor

Wacana lain yang muncul untuk memberikan efek jera pada koruptor selain hukuman mati adalah penyitaan kekayaan koruptor. Sanksi penjara saja belum membuat koruptor menjadi jera. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus tahanan korupsi yang justru menjadi pelaku utama muculnya kasus korupsi baru. Di dalam tahanan, beberapa napi koruptor melakukan penyuapan kepada penjaga lapas untuk mendapatkan kamar mewah hingga izin keluar Lapas.

Pada Juli 2018 lalu misalnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan di Lapas Sukamiskin Bandung. Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein ditangkap KPK karena menerima suap dari Fahmi Darmasnyah napi kasus suap kepada Bakamla yang divonis 2 tahun 8 bulan.

Tentu juga kita masih ingat kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang terbukti menyuap penjaga rumah tahanan Mako Brimob untuk dapat keluar masuk tahanan. Hal ini membuktikan tahanan penjara saja tidak cukup karena napi koruptor masih memiliki kekayaan berlimpah yang membuat mereka masih sanggup menyuap penjaga Lapas.

Koruptor memang menjadikan uang sebagai senjata yang hebat. Dengan uang mereka bisa dengan cepat mempengaruhi dan membentuk orang lain hingga terlibat dalam perilaku koruptif. Dengan uang mereka mampu mengoyak integritas moral aparat lalu menyuap mereka sehingga sama-sama menjadi koruptor.

Dengan uang hasil korupsi yang masih bertumpuk-tumpuk, koruptor dapat membeli apa saja termasuk kehormatan pejabat. Oleh karena itu, penyitaan harta kekayaan dan aset dengan tujuan memiskinkan koruptor merupakan salah satu jalan terbaik dalam memberikan efek jera bagi koruptor sekaligus memutus rangkaian korupsi.

Menyamakan Persepsi

Kasus Kasasi Angelina Sondakh bisa menjadi contoh betapa pengadilan bisa memberikan hukuman yang dianggap mampu memberikan efek jera sekaligus memiskinkan koruptor. Hakim Mahkamah Agung berani memutuskan hukuman yang lebih berat daripada hukuman pengadilan tingkat pertama.

Pengadilan tingkat pertama memberikan vonis 4 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp. 250 juta tanpa uang pengganti. Sementara Hakim MA menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dengan denda Rp. 500 juta serta pidana uang pengganti senilai Rp. 12,58 milyar dan 2,35 juta dollar AS ( sekitar 27,4 Milyar rupiah).

Namun di sisi lain kita mencatat bahwa ada 20 koruptor yang dipotong masa hukumannya setelah peninjauan kembali (PK) mereka dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Mereka antara lain Irman Gusman (mantan ketua DPD RI), Dirwan Mahmud ( mantan bupati Bengkulu Selatan , Patrialias Akbar ( Mantan Hakim Konstitusi). Obral pemotongan masa tahanan ini sangat disayangkan karena justru dapat mengurangi efek jera.

Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan penyamaan persepsi institusi negara untuk sama-sama menyadari bahwa korupsi ini adalah kejahatan luar biasa dan perlu penanganan yang lebih keras dengan memberikan hukuman ekstra berat. Perlu kiranya Presiden Jokow Widodo sebagai pimpinan eksekutif untuk berinisiatif menyamakan persepsi dengan Yudikatif, Legislatif dan juga KPK untuk menyepakati strategi baru pemberantasan korupsi di Indonesia.

Strategi ini hendaknya dapat memunculkan militansi hakim tindak pidana korupsi untuk lebih tegas mengganjar dan memvonis terdakwa korupsi dengan hukuman yang ekstra berat. Bagaimanapun juga korupsi adalah kejahatan yang luar biasa dan karena itu memberikan hukuman mati (seumur hidup) dan penyitaan semua harta koruptor adalah pilihan rasional.

Kedua jenis hukuman ini sesungguhnya tidak sulit dan tinggal dilaksanakan karena aturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan jalan untuk itu. Yang diperlukan adalah semangat dan niat para penegak hukum di negeri ini untuk lebih bersemangat dan militan memberikan efek jera bagi koruptor sekaligus efek gentar bagi calon-calon koruptor.

Facebook Comments
Komentar Facebook