Pak Prabowo, Berterang-teranglah dalam Gelap

 Pak Prabowo, Berterang-teranglah dalam Gelap

Secara tegas dan jelas Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah menyatakan menolak rencana penganggaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) senilai Rp. 1.760 trilyun. Bagi PSI anggaran yang sangat besar itu dianggarkan dalam waktu yang sangat tidak tepat. Adalah sebuah kecerobohan besar menganggarkan pembelian Alpalhankam yang nilainya melebihi target pendapatan negara dalam APBN 2021 disaat kita masih dalam kondisi pandemi. Meskipun digunakan dengan skema hutang luar negeri namun tetap merupakan suatu yang ganjil karena hingga detik ini kita belum bisa memastikan apakah kita bisa melewati pandemi ini dengan baik.

Penyusunan rencana anggaran ini juga penuh dengan ketidakjelasan. Ketika dokumen anggaran ini muncul ke publik, pihak Kemhan tidak dapat memberikan keterangan yang jelas. Bahkan juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak lewat keterangan tertulis senin 31 Mei 2021 justru malah menuding pihak yang membocorkan draft Rancangan Perpres soal moderniasi alutsista sengaja ingin menebar kebencian dan gosip politik (Tempo.co, 2 Juni 2021).

Keganjilan lain adalah ketika pihak Kemhan mengatakan bahwa rencana strategis ini adalah utuk modernisasi alpalhankam hingga 25 tahun ke depan (Tribunnews,7/06/2021). Padahal kita tahu sejak 2010 lalu telah dicanangkan moderniasi alutsista melalui skema Minimum Esential Forces (MEF)dalam 3 tahap. Tahap pertama (2009-2014), tahap 2 (2014-2019) dan tahap 3 (2019-2024).

Pemenuhan target MEF tahap 3 untuk saat ini belum tercapai. Berdasarkan data Kemhan, pada Oktober 2020 TNI AD memenuhi 77 persen kekuatan pokok minimal MEF, TNI AL 65,57 persen dan TNI AU 45,19 persen. Dengan kondisi ini jika ingin MEF tetap sesuai rencana terpenuhi 100 persen pada 2024 maka Kemhan harus menargetkan 36,81 persen hingga 2024 (Kompas, 8/10/2020).

Bagi saya sangat tidak realistis bila Kemhan menargetkan modernisasi hingga 25 tahun kedepan sementara target MEF tahap ketiga hingga 2024 saja belum tercapai. Akan lebih realistis bila Kemhan mendahulukan pemenuhan target MEF tahap 3 yang jumlah anggarannya tidak akan se-fantastis anggaran yang dirancang saat ini.

Banyak keganjilan yang menyiratkan bahwa penganggaran yang sangat besar ini terlihat terlalu dipaksakan dan tergesa-gesa. Meski rencana pertahanan merupakan rahasia negara namun dalam soal penganggaran harus memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas. Setiap proses penganggaran dan perencanaan harus melewati pengujian oleh publik melalui DPR RI. Sehingga tidak terlihat “bergelap-gelap dalam terang” serupa saat ini.

Proses pengadaan alpalhankam ini sudah diatur secara jelas dan baik dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dalam rangka membangun dan mengembangkan Industri Pertahanan, pemerintah mengatur secara jelas pada bab 7 pasal 31 bahwa pengguna dalam hal ini Kemhan/TNI wajib menggunakan alpalhankam produksi dalam negeri. Selanjutnya bila tidak dapat dipenuhi oleh Industri Pertahanan dalam negeri maka dapat menggunakan pengadaan dari luar negeri melalui proses langsung antar pemerintah atau pemerintah kepada pabrikan.

Pengadaan dari luar negeri juga tidak bisa sembarangan karena pada pasal 43 ayat 5 dijelaskan bahwa pembelian luar negeri harus mengikut sertakan partisipasi Industri Pertahanan (poin b), adanya kewajiban alih teknologi (poin d), serta adanya imbal dagang kandungan lokal atau ofset (poin e).

Ketentuan yang termuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 ini tak lain tak bukan adalah demi membangun industri pertahanan dalam negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada alpahankam dari luar negeri. Proses inilah yang luput dari perhatian publik atau memang belum/tidak diinformasikan oleh Kemhan ke publik.

Publik perlu tahu perencanaan senilai 1.760 triliun itu mengapa tidak memprioritaskan pembelian dalam negeri ? Padahal bila industri pertahanan dalam negeri mendapatkan jatah pembelian, keuntungan dari pembelian itu dapat digunakan untuk research and development produk sehingga dapat meningkatkan kualitas produk yang kita miliki. Sehingga produksi alat pertahanan kita lambat laun dapat menyaingi produksi negara lain seperti India, Turki bahkan Korea Selatan yang sesungguhnya satu letting dengan negara kita.

Kemudian publik juga berhak tahu dari skema pembelian luar negeri apakah ada kewajiban alih teknologi ataupun ofset ? Ini penting dijelaskan oleh pihak Kemhan karena skema ini telah berjalan lama sejak bertahun-tahun lalu. Pesawat CN-235 yang merupakan kebanggaan Indonesia adalah hasil ofset dari produsen pesawat CASA. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) sekitar tahun 1977 mendirikan perusahaan patungan bernama Airtech Industries dengan CASA sebagai imbal dagang pembelian pesawat CASA – 212 dari Spanyol.

Masih di masa orde baru, ketika Indonesia membeli 12 pesawat tempur F16 dari Amerika, IPTN juga mendapat ofset/imbal balik produksi. Indonesia mendapatkan imbal balik produksi sebesar 35 persen dari nilai kontrak pembelian yang pekerjaannya diberikan kepada IPTN. Contoh lain yang terdekat adalah pembelian kapal selam Changbogo dari Korea Selatan dimana Indonesia juga mendapatkan dengan skema alih teknologi. Dari 3 kapal selam, salah satunya dibangun di PT PAL Surabaya yang dikerjakan oleh insinyur dalam negeri sehingga Indonesia mendapatkan ilmu dan kemampuan untuk membangun kapal selam sendiri demi memperkuat kemandirian Indonesia dalam memproduksi Alutsista.

Dari sini terlihat bahwa pembelian alpalhankam ini tidak sekedar belanja barang semata tetapi juga kesempatan bagi negara kita untuk mendapatkan keuntungan berupa alih teknologi maupun imbal balik dagang lainnya. Jangan sampai hendaknya kita belanja putus saja tanpa mendapatkan apa-apa.

Banyak hal yang belum jelas dalam penganggaran yang terkesan ‘misterius” ini. Oleh karena itu penganggaran sebesar Rp. 1.760 triliun itu sudah sepantasnya kita tolak. Anggaran sebesar itu setara dengan rencana pendapatan negara dalam APBN 2021 yang ditargetkan sebanyak Rp. 1.743 triliun. Pembaca semua boleh bayangkan anggaran pembelian senjata hingga 2024 setara dengan target pendapatan negara dalam 1 tahun dan itu adalah hutang yang bunganya juga perlu juga kita bayar dengan APBN.

Jadi, Pak Prabowo ada apa dengan semua ini ? Rakyat Indonesia menghendaki penjelasan yang lebih detail. Ini saatnya berterang-terang dalam gelap jangan malah bergelap-gelap dalam terang !

Facebook Comments
Komentar Facebook