Anti Korupsi Sejak Dini

 Anti Korupsi Sejak Dini

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Nurdin Abdullah (NA) akhir Februari lalu begitu mengejutkan bagi saya. NA adalah salah satu pemimpin yang saya dan mungkin juga kawan-kawan semua pernah jadikan sebuah role model kepemimpinan masa kini dan masa akan datang.

NA selama ini dikenal sebagai pemimpin yang sangat berprestasi. Selama dua periode menjadi Bupati Bantaeng ia telah memberikan bukti bahwa bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan kompetensi yang jelas pemimpin bisa mendatangkan perubahan yang signifikan bagi daerah.

Selama menjabat, NA telah berhasil menaikkan Pendapatan Asli Daerah hingga 4 kali lipat. Pertumbuhan ekonomi naik dari 4,7 persen menjadi 9,5 persen. Sehingga jumlah penduduk miskin merosot dari 12 persen menjadi 5 persen hingga tahun 2016. Semua prestasi itu membuat kita semua memiliki harapan yang tinggi akan munculnya banyak tokoh-tokoh politik baru yang bisa menorehkan prestasi seperti NA.

Tapi harapan itu kemudian harus layu sebelum berkembang dengan OTT yang dilakukan KPK. Ada kawan yang mengatakan bahwa perilaku korupsi yang ada di Indonesia ini sudah begitu berurat berakar sehingga korupsi sudah menjelma menjadi budaya. Sebaik apapun orang pada awalnya bila ia telah masuk begitu jauh ke dalam birokrasi pemerintahan maka ia akan larut oleh perilaku korupsi yang telah membudaya itu.

Tentu saja saya tidak langsung mengiyakan pendapat kawan saya itu karena bagi saya korupsi jelas bukan bagian dari budaya manusia. Budaya itu adalah nilai-nilai moral yang dianggap baik oleh masyarakat dan jelas korupsi tidak masuk ke ranah itu. Meskipun kita harus mengakui bahwa ada sisi-sisi tertentu dimana masyarakat sangat terbuka dan permisif terhadap praktik korupsi. Gratifikasi misalnya atau pungli yang saat ini memang masih ada dan susah untuk diberantas. Korupsi adalah sebuah anomali dalam sistem apapun dan ia dapat terjadi di manapun (universal).

Jika demikian halnya maka muncul dua pandangan. Pertama, terdapat sesuatu yang “salah” dalam sistem birokrasi tersebut sehingga terdapat ruang atau celah yang memungkinkan terjadinya korupsi. Kedua, sistem birokrasi sudah “benar” sehingga yang jadi soal adalah kualitas dan moralitas individu yang terlibat dalam sistem itu. Dalam kasus Indonesia, kedua pandangan itu cenderung terbukti. Birokrasi dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia dihiasi banyak celah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bermoral sehingga benih-benih korupsi tumbuh subur.

Pandangan pertama sebetulnya sudah mulai ditangani dengan baik melalui reformasi birokrasi yang dilaksanakan pemerintah pusat maupun daerah. Transparansi penggunaan anggaran serta peningkatan kualitas pelayanan publik sudah berjalan lebih baik dari sebelumnya. Dengan sistem yang berjalan serta diikuti oleh pengawasan yang dilakukan oleh penegak hukum termasuk KPK maka secara sistem perilaku koruptif itu sesungguhnya sudah dapat lebih mudah diketahui dan diungkap.

Pandangan kedua yang tampaknya masih belum dapat tertangani dengan baik. Kita tidak dapat mendeteksi calon pemimpin soal moral apalagi potensi mereka untuk melakukan korupsi. Sehingga dengan sistem yang baikpun bila keinginan untuk korupsi dan menumpuk kekayaan itu ada maka potensi korupsi masih bisa terjadi.

Dalam hal pemberantasan, pada tulisan beberapa bulan lalu saya sudah menulis tentang pentingnya penegak hukum memberikan hukuman ekstra berat kepada koruptor antara lain memberikan hukuman mati termasuk memiskinkan keluarganya. Kini kita coba membahas tindakan pencegahan apa yang mungkin bisa kita lakukan secara bersama-sama pemerintah maupun masyarakat antikorupsi.

Kurikulum Anti Korupsi

Pada tahun 2018 ketua KPK Agus Raharjo bersama Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo dan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menandatangani komitmen implementasi pendidikan anti korupsi pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Dengan harapan pada 2019 pendidikan anti korupsi wajib masuk dalam kurikulum semua jenjang pendidikan.

Namun implementasinya menurut KPK, hingga April 2020 baru 23 persen dari 542 Pemda di seluruh Indonesia yang telah menerbitkan aturan yang menjadi dasar penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di sekolah. Hal ini tentu cukup memprihatinkan kita semua. Sejak dua tahun dicanangkan baru 23 persen Pemda yang membuat aturan PAK sedangkan 77 persen lainnya belum membuat aturan itu. Ini baru bicara aturan belum masuk ke dalam kualitas kurikulum dan implementasinya. Sepertinya harapan kita untuk untuk menumbuhkan budaya antikorupsi sejak dini masih jauh dari harapan.

Bagi saya, menanamkan kesadaran anti korupsi harus dimulai sejak dini. Karena pada usia dinilah kita bisa menanamkan semangat anti korupsi dengan baik sehingga semangat anti korupsi mengalir dalam darah dan nadi setiap generasi. Dengan begitu sikap anti korupsi akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka antara lain dengan membenci perilaku pungli, sogok menyogok korupsi waktu dan tindakan-tindakan korupsi lain yang selama ini masyarakat cukup permisif dengan keberadaannya.

Oleh karena itu, saya berharap pemerintah lebih serius untuk menjalankan implementasi Pendidikan Anti Korupsi ini. Kita sebagai masyarakat sipil anti korupsi juga sebaiknya memberikan tekanan kepada Pemerintah Daerah masing-masing untuk menyegerakan implementasi Pendidikan Anti Korupsi. Jangan sampai niat baik ini hanya menjadi wacana hangat-hangat tahi ayam yang akhirnya hilang tanpa bekas.

Museum Koruptor

Ada hal menarik yang saya baca di media tentang usaha yang dilakukan oleh aktivis anti korupsi Meksiko, negara yang tingkat korupsinya juga sangat tinggi. Sekelompok aktivis muda di Meksiko menemukan cara lucu sekaligus cerdas untuk menimbulkan kesadaran akan bahayanya korupsi di negara tersebut.

Mereka menyediakan bus yang dicat warna warni dan dihiasi wajah politisi korup bersama gambar babi dan tikus. Lalu bus yang mereka namakan “corruptour” itu mereka pakai untuk melakukan tur yang diikuti oleh masyarakat umum. Tur gratis ini membawa orang-orang ke sekitar 10 Landmark kota yang menjadi peninggalan dan bukti perilaku korupsi yang dilakukan oleh politisi. Beberapa di antaranya, kantor-kantor pemerintahan yang terlihat mewah sampai komplek perumahaan bagi rakyat miskin yang sudah lama terbengkalai dan tidak jelas penggunaan anggarannya.

Dalam tur yang diamakan Tour De La Corruption itu, mereka memutar rekaman video yang menjelaskan bagaimana koruptor di negara tersebut mengambil uang rakyat dan disedot ke tempat-tempat ini. Selama tur satu jam, koruptor benar-benar dipermalukan dengan menelanjangi semua perilaku korupsi mereka.

Saya kira hal-hal kreatif seperti ini layak untuk kita tiru. Perlu kiranya kita mendirikan sebuah museum koruptor yang berisikan segala kasus korupsi yang pernah ada di Indonesia. Museum diisi dengan profil koruptor serta kisah perilaku koruptif mereka yang mencuri uang negara serta akibat yang ditanggung rakyat atas perilaku mereka itu.

Tersedia juga pemutaran video-video yang mengisahkan bagaimana korupsi itu bermula dan bagaimana pula korupsi itu berakhir di penjara. Kita juga dapat memberikan tur bagi anak-anak sekolah yang berkunjung ke museum tersebut untuk dapat melihat langsung bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu atas perilaku korupsi yang pernah terjadi di Indonesia.

Dengan cara kreatif begini, pendidikan anti korupsi dari usia dini dapat kita lakukan dengan lebih menyenangkan. Pencegahan sejak dini sekaligus mempermalukan koruptor merupakan sebuah combo pemberantasan korupsi yang belum terpikirkan sebelum ini. Sebagai masyarakat sipil anti korupsi kita bisa membantu mewujudkan ide-ide kreatif seperti yang dilakukan di Meksiko dan tentu saja perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan bersama program pemerintah yang sedang dan akan berjalan.

Facebook Comments
Komentar Facebook