ALASAN MENGAPA SAYA & PSI MENOLAK REVISI UU PEMILU

 ALASAN MENGAPA SAYA & PSI MENOLAK REVISI UU PEMILU

Wacana revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017 memunculkan babak baru. Setelah sebelumnya mayoritas partai di DPR RI berencana untuk melakukan revisi, kini mayoritas partai mengatakan menolak rencana revisi tersebut.

Sesungguhnya wacana revisi ini cukup meresahkan bagi kehidupan demokrasi kita sebagaimana sudah dibahas dalam dua tulisan saya sebelum ini mengenai Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold. Dengan dibukanya wacana revisi UU Pemilu ini maka kita seolah memberikan garansi kosong kepada DPR RI untuk leluasa mengubah berbagai pasal krusial yang ada dalam UU Pemilu tersebut.

Beberapa kekhawatiran itu antara lain sebagai berikut; Pertama, Parliamentary Threshold hampir bisa dipastikan akan bertambah besar dari sekarang 4 persen kemungkinan akan meningkat menjadi 5-7 persen sesuai dengan usulan mayoritas pemilik kursi di DPR RI.

Sebagaimana pembahasan terdahulu, Parliamentary Threshold 4 persen yang berlaku di Pemilu 2019 telah menyebabkan 13 juta suara hilang percuma. Bila Parliamentary Threshold kemudian ditingkatkan menjadi 5 persen maka suara rakyat berpotensi terbuang percuma hingga 19 juta suara. Ini adalah jumlah suara rakyat yang sangat besar yang berpotensi hilang begitu saja akibat penggunaan ambang batas parlemen tersebut.

Kedua, pembahasan mengenai sistem pemilu apakah akan dilakukan secara proporsional terbuka atau proporsional tertutup. Ini juga berpotensi menjadi bola liar. Bila partai di DPR RI sepakat untuk menjadikan sistem pemilu tertutup maka kemewahan calon legislatif untuk dipilih berdasarkan suara terbanyak akan hilang karena berganti dengan sistem nomor urut kembali. Ini sangat berakibat negatif kepada partisipasi politik baik dari sisi peserta pemilu maupun dari partisipasi pemilih.

Ketiga, terbukanya kembali pembahasan Presidential Threshold. Isu ini juga menjadi isu utama dalam wacana revisi UU Pemilu. Meski kekuatan untuk menambah besaran ambang batas ini hampir seimbang dengan yang ingin mengurangi besarannya, tetap saja berpeluang menjadikan ambang batas ini makin tinggi. Bila ambang batas ini makin tinggi maka akan semakin memperkecil kemungkinan munculnya 3-4 pasangan calon presiden seperti yang kita inginkan bersama.

Keempat, potensi munculnya “pasal siluman” yang bisa melumpuhkan demokrasi. Sebagaimana penjelasan Sekretaris Dewan Pembina PSI Raja Juli Antoni di berbagai media, terdapat usulan “pasal siluman” yang membolehkan kader partai menjadi anggota KPU. Bagi PSI, KPU sebagai penyelenggara sekaligus wasit sudah semestinya diisi oleh orang-orang independen dan kompeten dan bukan diisi oleh kader partai yang sesungguhnya merupakan pemain dalam pemilu itu sendiri.

Sedikitnya empat hal itulah yang menjadi kekhawatiran kita bila revisi UU Pemilu ini jadi dilaksanakan. Sehingga pilihan untuk menolak revisi UU Pemilu ini menjadi satu pilihan logis untuk saat ini.

Isu Pilkada

UU Pilkada No 10 Tahun 2016 meniadakan pilkada tahun 2022 dan 2023 dan gantinya akan digelar serentak pada November 2024. Dalam rentang waktu hingga 2024, daerah akan dijabat oleh pelaksana tugas yang ditunjuk Kemendagri.

Aturan itu tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut tapi dilangsungkan pada bulan November 2024. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai tahun 2024.

Draft revisi UU Pemilu pada mulanya akan menyatukan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dengan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 ini. Dalam draft tersebut terdapat pilihan untuk melakukan normalisasi Pilkada yakni tetap mengadakan Pilkada pada tahun 2022.

Dalam perkembangannya beberapa hari ini, dari 9 partai di DPR RI, sebanyak 6 partai yakni PDIP, Gokar, Gerindra, PAN dan PP menolak revisi UU Pemilu serta menolak pula normalisasi Pilkada. Sementara itu PKS, Demokrat dan Nasdem mendukung revisi UU Pemilu serta mendukung normaliasi Pilkada. Hanya PKB yang mendukung revisi UU Pemilu namun menolak normalisasi Pilkada.

Argumen dari Partai yang tetap menginginkan pilkada serentak 2022 lebih ditujukan kepada kekhawatiran akan padatnya agenda pemilu di tahun 2024. Pihak ini khawatir pelaksanaan Pemilu Legislatif bersama Pemilihan Presiden dan Pilkada serentak pada tahun yang sama akan sangat membebani penyelenggara pemilu.

Alasan ini cukup beralasan mengingat pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden serentak 2019 menyisakan masalah yang sangat krusial. Pada Pemilu tahun 2019 lalu, sebanyak 849 petugas meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Inilah isu utama yang menjadi alasan dari partai yang mendukung revisi UU Pemilu.

Saya setuju ini tragedi kemanusian yang tak boleh terulang kembali namun saya juga memiliki keyakinan apa yang terjadi pada 2019 dapat kita jadikan pelajaran yang sangat berharga. Apa yang terjadi pada 2019 dapat kita hindari untuk terjadi lagi di pemilu 2024 nanti. Saya yakin, Pemerintah bersama penyelenggara pemilu tentu sudah belajar dari kesalahan yang terjadi dan menemukan solusi untuk penyelenggaraan yang lebih baik.

Saya sendiri menyarankan kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk dapat menambah jumlah petugas di lapangan sehingga beban kerja mereka tidak terlalu berat. Kemudian rekrutmen petugas TPS, KPPS, PPK dan jajaran diatasnya agar lebih diperhatikan lagi terutama mengenai aspek kesehatan petugas. Aspek kesehatan termasuk batasan umur ini bisa jadi luput dari perhatian pemerintah pada pemilu 2019 lalu sehingga pada akhirnya membahayakan banyak nyawa.

Banyak dari kita mungkin salah kaprah membayangkan bahwa Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Pilkada diselenggarakan serentak pada tahun dan bulan yang sama. Sehingga menganggap beban pemilu akan sangat berat baik dari sisi penyelenggara pemilu maupun dari pemilih.

Namun itu tidak benar, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden diselenggarakan pada bulan April 2024 sedangkan Pilkada akan diselenggarakan pada bulan November 2024. Jarak antara Pemilu dan Pilkada rentang 7 bulan ini menurut saya sudah cukup bagi penyelenggara pemilu untuk mempersiapkan segala hal mulai dari kesiapan petugas hingga logistik.

Alasan lain yang disampaikan oleh pengusul normalisasi Pilkada 2022 adalah kehawatiran akan kurang fokusnya rakyat dalam memilih pemimpin berkualitas karena akan terfokus pada Pilpres. Saya rasa alasan ini tidak memiliki argumen yang solid mengingat pada pemilu dan Pilpres 2019 serentak lalu pemilih tetap fokus yang dibuktikan dengan partisipasi pemilih yang meningkat.

Pada pemilu serentak 2019, berdasarkan data yang dirilis KPU partisipasi pemilih mencapai 81,67 persen sedangkan pada Pilpres mencapai 81,97 persen. Partisipasi ini meningkat dibandingkan pada Pemilu 2014 dimana partisipasi Pemilu hanya 75 persen sedangkan dalam Pilres sebanyak 70 persen.

Demikianlah argumentasi mengapa saya pribadi dan juga PSI menyatakan menolak Revisi UU Pemilu. Kita memiliki kekhawatiran revisi ini akan membuka peluang terjadinya perubahan pasal krusial seperti yang kita bahas diatas sehingga berakibat kepada pelemahan demokrasi itu sendiri.

Pergantian tiap sebentar peraturan perundang-undangan bukanlah sesuatu yang baik karena hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingungan baik dari sisi peserta pemilu maupun dari pemilih. UU Pemilu dan UU Pilkada kita masih terhitung baru karena itu perlu kita jalankan dulu untuk beberapa pemilu ke depan. Dengan begitu kita bisa tahu kelebihan dan kekurangan yang ada untuk kemudian kita evaluasi dan kita perbaiki.

Facebook Comments
Komentar Facebook