Pilpres Amerika Serikat dan Tumbangnya Politik Identitas

 Pilpres Amerika Serikat dan Tumbangnya Politik Identitas

Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) telah berakhir, dari perolehan Electoral Treshold (EC), Joe Biden hampir pasti terpilih menjadi presiden baru AS. Dari hitungan The Associated Press, Joe Biden memperoleh 290 EC sementara Donald Trump memperoleh 217 EC. Secara Popular Votes, Joe Biden memperoleh 77.077.565 sedangkan Trump memperoleh 71.989.927 suara. Ini adalah jumlah kemenangan presiden AS terbanyak sepanjang masa.

Kemenangan Joe Biden dianggap sebagai kemenangan rakyat AS melawan politik identitas yang diusung oleh Trump. Sejak kemenangan Trump di Pilpres 2016 lalu dengan mengusung politik anti imigran dan supremasi kulit putih, aroma rasisme memang semakin mengental. Pada puncaknya, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika pada Juli 2019 meloloskan resolusi yang menyebutkan Trump “melegitimasi ketakutan, kebencian dengan meminta anggota kongres perempuan kembali ke negara asal”. Padahal keempat anggota kongres itu, tiga orang lahir di Amerika dan satu orang datang ke Amerika saat masih kecil.

Imam Indonesia di New York Shamsi Ali mengkonfirmasi bahwa perlakuan rasis kepada pendatang semakin menguat sejak Trump memerintah. Menurut Shamsi semua penduduk yang dikategorikan minoritas mendapat perlakuan yang rasis. Dari hispanik, Afrika, orang Yahudi, orang Islam, khususnya dari Timur Tengah dan Asia Selatan mendapat perlakuan rasisme yang cukup tinggi. Karena pelaku rasis seolah mendapat perlindungan pemerintah (BBC News 18 Juli 2019).

Pada Pilpres 2020, Joe Biden membawa jargon kampanye yang merupakan antitesis dari jargon politik Trump dengan mengusung ide kebersamaan. Narasi politik Biden ini mendapat sambutan luas dari warga pendatang seperti Hispanic, warga Afro American, hingga pemilih Muslim. Dari hasil survei exit poll yang dilakukan Edison Research, pemilih berkulit hitam, Hispanic/latino, Asian dan minoritas lain dominan memilih Joe Biden sedangkan kulit putih dominan memilih Trump.

Banyak pengamat mengharapkan setelah Joe Biden terpilih, politik identitas akan mereda di AS khususnya dan dunia pada umumnya. Karena bagaimanapun juga politik identitas ini akan mengoyak-ngoyak persatuan dan keragaman di berbagai belahan dunia. Kita sebagai rakyat Indonesia juga harus waspada terhadap penggunaan politik identitas ini.

Politik identitas selalu muncul di daerah yang memiliki keragaman etnis, budaya dan agama. Sebagai negara yang memiliki ratusan suku dan banyak agama, Indonesia juga rawan terpecah belah oleh politik identitas. Desember ini sebanyak 270 daerah terdiri dari 9 provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota akan melaksanakan pemilihan kepala daerah.

Ratusan Pilkada di provinsi dan kabupaten/kota rawan terhadap penggunaan narasi politik identitas yang dapat menghanguskan keberagaman. Pilkada rawan memunculkan narasi pribumi vs non pribumi serta sentimen SARA lainnya.

Memilih calon pemimpin berdasarkan preferensi suku dan agama menurut saya boleh saja. Memilih calon yang sesuku atau seagama dengan kita tidak masalah namun yang sebaiknya kita hindari adalah mempolitisasi perbedaan itu dengan jargon-jargon dan narasi yang memungkinkan timbulnya permusuhan terhadap calon dan pendukungnya yang berlatar etnis dan agama yang berbeda.

Politisasi perbedaan identitas dalam pemilihan umum hanya akan membuat pemilih terpolarisasi dan terbelah. Keterbelahan ini akan terus memuncak hingga pemilihan berikutnya. Selama itu, narasi kebencian, fitnah dan hoax akan terus menghiasi dunia kita terutama di media sosial. Kondisi politik seperti ini tentu saja tidak sehat, karena bagaimanapun perbedaan yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita dimaksudkan supaya kita saling mengenal dan bukannya menjadi alasan supaya kita terpecah belah.

Karena itu saya menghimbau kepada kita semua supaya kita menjadikan kalahnya narasi politik identitas di AS sebagai pengingat agar politisasi identitas tidak tumbuh subur di Indonesia. Kita berharap Pilkada bulan depan menjadi bukti sejarah bahwa politisasi identitas tidak terjadi. Kita mampu menunjukkan kepada dunia meski demokrasi di Indonesia terbilang baru namun pemilih Indonesia adalah pemilih rasional yang lebih mengedepankan rekam jejak dan visi dibandingkan dengan isu-isu SARA.

Sumber gambar: History in HD

Facebook Comments
Komentar Facebook