Memaknai Hari Pahlawan dengan Menyelamatkan Bumi

 Memaknai Hari Pahlawan dengan Menyelamatkan Bumi

Hari Pahlawan ditandai dengan peristiwa Pertempuran 10 November di Surabaya. Pertempuran ini terjadi atas dasar Resolusi Jihad K.H. Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang berpesan bahwa memerangi penjajah merupakan kewajiban. Ditambah dengan membaranya gelora api pidato Bung Tomo di radio. Euforia membara ini sampai-sampai membuat bala tentara Inggris takjub dan menjuluki rakyat Surabaya sebagai barbarians. Seperti Bandung Lautan Api, peristiwa yang meluluhlantakkan seisi kota ini justru menjadi penyelamat, sebuah pembebasan, dari suatu bentuk penjajahan bernama kolonialisme.

Landasan di atas merupakan masa lalu sejarah bangsa kita. Dan tentu juga Belanda, sebagai bangsa dan negara. Sebuah sejarah revolusi nasional, yang memperebutkan kedaulatan teritorial sebuah negara. Itu dulu. Saya lebih tertarik melihat masa depan kita. Masa depan Indonesia. Masa depan dunia. Masa depan umat manusia.

Kepahlawanan sebagai Warga Dunia

Setelah penjajahan kolonialisme usai, kita menghadapi sebuah tantangan baru: menjaga perdamaian dunia. Memang, dalam perjalanannya tak sepenuhnya sempurna. Peliknya pertarungan kekuasaan negara-negara dunia, malah tetap menciptakan peperangan baru dengan bermacam bentuk pula. Tiap negara berperang berebut sumber daya. Satu negara mengeksploitasi negara lainnya.

Dalam dinamika perjalanan kekuasaan negara-negara dunia tersebut, bumi pun mengalami dampaknya. Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tanpa mempedulikan masa depan anak cucu kita, membuat bumi rusak dan kestabilan alam semesta kacau. Perubahan iklim adalah hal nyata dari kedua dampak tersebut.

Kesadaran untuk menyelamatkan bumi menjadi bentuk kepahlawanan baru. Sebuah kesadaran hakiki menerapkan ajaran Islam: Rahmatan Lil Alamin. Manusia menjadi rahmat bagi alam semesta dan seisinya. Dalam konteks kesejarahan, tentu hal ini juga merupakan bentuk kepahlawanan.

Sejarah Masa Depan Umat Manusia

Dalam salah satu karyanya yang fenomenal itu, Yuval Noah Harari memberikan teori ilmiah bahwa peradaban hewan purba bisa punah justru disebabkan besar juga oleh perburuan manusia yang barbar. Hal ini merupakan fakta yang kurang disadari oleh peradaban manusia selanjutnya, dalam menyikapi ilmu dan temuannya sendiri. Seolah-olah peradaban hancur karena meteor, tanpa sedikitpun sumbangsih manusianya.

Dengan belajar dari pandangan ilmiah tersebut di atas, kita dapat belajar untuk menyelamatkan bumi, dengan tidak menambah segala macam kerusakan yang telah ada. Dalam konteks ini, fenomena perubahan iklim dapat dijadikan fokus utama bagi umat manusia untuk bersiap menghadapinya. Jika tidak, bukan tidak mungkin peradaban kita akan merasakan apa yang dialami manusia purba di masa lalu.

Membuat Sejarah dengan Mengatasi Perubahan Iklim

Kembali pada alam, adalah kesadaran yang mulai dapat dirasakan di beberapa negara-negara di dunia. Pemanfaatan sumber daya terbarukan menjadi fokus kebijakan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Modernisasi pertanian, konservasi alam, mengurangi penggunaan sampah plastik dan bahan kimia berbahaya bagi alam, menjadi kesadaran masyarakat dan bahkan diberikan regulasi oleh pemerintahan negara-negara tersebut.

Di Indonesia pun juga dapat kita rasakan. Reduce-Reuse-Recycle menjadi propaganda dan aksi nyata yang telah akrab di keseharian kita bermasyarakat. Hanya tinggal perlu digalakkan dari pemangku kekuasaan di atas ke masyarakat bawah melalui regulasi, kebijakan, dan dukungan penuh bagi gerakan di akar rumput. Dalam hal ini, saya bersama PSI telah membuat gagasan bagi anak muda untuk mengelola hutan.

Beberapa lalu Pak Jokowi telah bergerak menanam mangrove bersama para Duta Besar. Kini, saatnya kita, jutaan anak muda Indonesia ikut bergerak mengelola hutan. Demi mengatasi perubahan iklim. Demi membuat sejarah baru.

Facebook Comments
Komentar Facebook