Lawan Polarisasi Cebong-Kadrun

 Lawan Polarisasi Cebong-Kadrun

Bro dan Sis, Pemilu 2014 waktu itu rasanya betul-betul memecah kita menjadi dua kubu saling berhadapan. Waktu di saat, Pemilihan Calon Presiden dan Wakilnya, seolah-olah kayak diadu gitu. Padahal, sebelumnya, Capres dan Cawapres yang resmi ikut kontestasi Pemilu biasanya terdiri dari 3 pasangan calon atau lebih, kan? Inilah alasan mengapa banyak pihak menyuarakan terkait persoalan presidential threshold. Supaya, tidak dia-dia lagi yang menjadi kandidat, dan memunculkan wajah baru yang membawa energi baru.

Polarisasi? Begitulah kiranya. Apa yang terjadi selanjutnya, juga berimbas pada Pilgub DKI Jakarta. Walaupun, terdiri dari 3 pasangan calon, polarisasi tetap terjadi dan cukup kuat. Bahkan cenderung SARA. Cukup memprihatinkan, bahkan dampaknya hingga ke masyarakat di luar daerah DKI Jakarta. 

Kita tahu, kalau polarisasi Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, itu membawa dampak hingga ke persoalan sosial-budaya masyarakat kita. Salah satunya soal bahasa! Yup, kita tahu labeling bagi lawan politik sangat santer terasa di tengah kita. Bahkan, di saat ajang pemilihan itu telah selesai, di banyak kesempatan masyarakat, jika membahas politik cukup rawan dengan debat sengit yang kurang sehat. 

Teori labeling pertama kali dikemukakan oleh Edwin M. Lemert. Dalam konteks sosial, labeling dikaitkan dengan pemberian label atau cap kepada orang lain. Sering kali pemberian label itu berkonotasi negatif dengan memberi predikat buruk kepada orang lain. Akibatnya orang yang dilabeli predikat itu mempunyai citra buruk di hadapan publik atau masyarakat dan merasa tidak percaya diri. 

Labeling yang cukup mengkhawatirkan, yang kita tahu bersama, soal sebutan Cebong dan Kampret. Bahkan, labelling tersebut bergeser menjadi Cebong dan Kadrun (Kadal Gurun), setelah Pilpres 2019 membawa kemenangan bagi presiden kita tercinta, bapak Joko Widodo yang merangkul pesaingnya terdahulu, bapak Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan di kabinet Indonesia Maju. 

Labeling sungguh sangat sensitif dan meresahkan.  Labeling sungguh membuat Indonesia yang bersifat ‘Kita’ dan ‘Kami’ bersatu, menjadi ‘Kita’ versus ‘Mereka’ yang dianggap tidak sejalan.

Sejarah, seringkali sifatnya berulang, jika kita tidak belajar dari sana. Tragedi 1998, misalnya, terjadi karena begitu lamanya polarisasi terjadi dan terus menerus dipanaskan. Isu SARA menjadi makanan sehari-hari. Itu sungguh sangat melelahkan, dan menjadi begitu mengerikan saat tragedi terjadi. Polarisasi itu diperhalus sejak awal dengan aturan legal yang justru makin memperkuat persepsi masyarakat soal kesenjangan ekonomi, hingga sosial-politik.

Bahkan, hal serupa juga terjadi di berbagai belahan negara dunia di banyak kesempatan. Politik identitas, adalah faktor utama yang menimbulkan polarisasi hingga ke banyak ranah seperti kita sebutkan barusan. 

Politik identitas yang cukup ekstrem, misalnya, bagaimana tragedi Rwanda berujung pada genosida. Bagaimana suku Hutu dan Tutsi Moderat, menjadi target pembunuhan selama 100 hari berturut-turut pada tahun 1994 di Rwanda. Peristiwa bernuansa konflik etnis yang menewaskan 800 ribu jiwa tersebut, juga sarat akan bumbu labeling kepada pihak musuh.

Berbelok lagi ke arah Timur Tengah, bagaimana isu sektarian agama dan paham terorisme berkedok agama dijadikan bahan bakar di sana. Kudeta, perang sehari-hari, menjadi berita yang amat melelahkan. Tentu kita tidak mau seperti itu. 

Untungnya, di negeri ini, kita memiliki ajaran Pancasila dan Budi Pekerti dari tiap-tiap daerah Nusantara yang amat kaya. Sehingga, konflik dapat kita redam bersama. Selain terkenal sebagai bangsa yang murah senyum, Indonesia dikenal sebagai bangsa pemaaf. Buktinya, hanya di negeri kita, dengan tanpa bosan, saling bermaaf-maafan tiap tahunnya di hari Lebaran. Begitu juga perayaan agama lain, seperti Natalan, yang para pemeluknya sering berbagi makanan ke tetangga tanpa melihat perbedaan agama. Yap, silaturahmi, juga menjadi passion kita bersama!

Kita mesti berbenah. Kita mesti memperbaiki diri. Dengan banyak berdiskusi secara data dan fakta, dengan secara lebih rasional. Kita mesti membangun narasi positif yang terbebas dari politik identitas dan polarisasi apapun. Kita mesti sering-sering mengadakan pertemuan yang mewakili masing-masing latar belakang berbeda, yang seringkali bertentangan sebelumnya.

 

Mari bersatu, singkirkan polarisasi. 

Salam Solidaritas ✊🏻

Facebook Comments
Komentar Facebook