Dewa Kipas dan Bangsa yang Haus Prestasi

 Dewa Kipas dan Bangsa yang Haus Prestasi

Pertandingan catur online antara Dadang Subur (Dewa Kipas) vs Levy Rozman (Gotham Chess) yang dimenangkan oleh Dewa Kipas, mungkin pertandingan yang paling banyak dibicarakan masyarakat pada awal tahun ini. Pertandingan ini bukanlah ajang resmi yang dilakukan oleh lembaga catur dunia namun kontroversi yang muncul setelah pertandingan menjadi begitu viral dan menyita perhatian khalayak.

Chess.com sebagai platform game catur dunia diketahui memblokir akun Dewa Kipas setelah pertandingan itu karena menilai Dewa kipas melakukan kecurangan dalam beberapa permainan terakhirnya. Pemblokiran inilah yang akhirnya menjadi kontroversi setelah anak Dewa Kipas yang bernama Ali Akbar mengunggah ke media sosial perihal pemblokiran ini.

Kisah ini tidak luput dari perhatian PB Percasi sebagai badan organisasi yang menaungi olah raga catur di Indonesia. Dalam sebuah konferensi pers PB Percasi sependapat dengan Chess.com bahwa ada kejanggalan dalam statistik permainan Dewa Kipas. Kejanggalan yang dimaksud adalah grafik permainan Dewa Kipas yang sangat stabil dengan rata-rata akurasi 90-99 persen.

Menurut PB Percasi hal ini tidak normal karena grafik permainan pecatur hebat sekalipun pasti naik turun dengan rata-rata langkah yang lebar. WGM Irene Sukandar yang merupakan atlet catur nasional memiliki akurasi antara 45-95 persen dan GM Susanto Megaranto memiliki akurasi 50-95 persen.

Saya tidak akan membahas ataupun menilai apakah Dewa Kipas melakukan kecurangan atau bukan namun yang menarik perhatian saya adalah kekompakan netizen Indonesia yang serentak membela Dewa Kipas. Netizen menganggap chess.com tidak adil memblokir akun Dewa Kipas dan mencurigai tindakan itu hanyalah untuk menutup malu pihak Gotham Chess yang merupakan GM Internasional dan tidak rela dikalahkan oleh Dewa Kipas yang bukan siapa-siapa.

Saya melihat sebuah pertunjukan nasionalisme yang begitu kuat oleh suporter Dewa Kipas. Mereka bangga dengan kemenangan Dewa Kipas lalu membela dengan cara khas netizen Indonesia yakni beramai-ramai menyerang akun Levy Rozman baik di Twitter maupun Instagram. Perlakuan Netizen Indonesia yang menurut penilaian Microsoft adalah netizen yang paling militan di Asia Tenggara membuat Levy harus menutup akun media sosialnya termasuk kanal youtubenya untuk orang Indonesia.

Militansi neizen ini adalah sebuah gambaran betapa rakyat Indonesia sebetulnya sedang haus akan prestasi bangsanya khususnya dalam olah raga. Harus kita akui bahwa negara kita sudah sangat lama tidak memberikan kebanggaan kepada rakyat dengan prestasi olah raga apakah dalam tingkatan Sea Games, Asian Games apalagi Olimpiade.

Dulu Indonesia pernah digelari sebagai raja di Asia Tenggara karena sejak Sea Games pertama kali digelar pada tahun 1977, Indonesia selalu mendominasi juara umum. Dalam kurun waktu 1977-1997, Indonesia hanya dua kali gagal menjadi juara umum. Bila ditotal maka Indonesia tercatat pernah menjadi juara umum sebanyak sepuluh kali, dari sepuluh itu sembilan kalinya didapat ketika masa orde baru.

Sea Games terakhir tahun 2019 di Filipina, Indonesia hanya menempari peringkat 4 dibawah Filipina, Vietnam dan Thailand. Sedangkan pada Sea Games tahun 2017 di Kuala Lumpur Indonesia menempati peringkat ke-5 bahkan dibawah Singapura yang penduduknya hanya sekitar 5,8 juta jiwa.

Kondisi seperti inilah yang menyebabkan netizen Indonesia merasa sangat haus akan prestasi olah raga. Sebagai negara besar dengan 260 juta lebih penduduk, Indonesia harusnya dapat bicara banyak di ajang olah raga Asia Tenggara. Dengan kondisi psikologis seperti itul fenomena Dewa Kipas menjadi semacam pengobat rasa rindu bagi netizen Indonesia untuk dapat merasakan kebanggaan atas sebuah prestasi.

Saya kira fenomena Dewa Kipas ini bisa menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia khususnya KONI untuk semakin intens mencari bakat-bakat olah raga dan kemudian melakukan pembinaan yang lebih serius. Dewa Kipas bukan siapa-siapa namun dalam pertandingan melawan WGM Irene Sukandar yang ditayangkan langsung di chanel Youtube Deddy Corbuzier mampu memperlihatkan permaianan yang cukup baik meskipun kalah. Hal ini menjadi indikasi bahwa di luaran sana dari ratusan juta rakyat Indonesia tersimpan banyak sekali talenta yang mumpuni bila diasah dan diberi kesempatan untuk berkembang.

Saya yakin ketertinggalan kita dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Singapura bukanlah soal kemampuan atau bakat melainkan pembinaan atlit. Negara-negara tetangga memiliki banyak sekolah atlit yang mereka kombinasikan dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan manjemen yang baik. Mirisnya, negara tetangga melakukan pembinaan atlet ini justru ditiru dari negara kita semasa berjaya dahulu namun dengan peningkatan keilmuan dan manajemen yang jauh lebih baik.

Selain itu, anggaran pembinaan memang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Anggaran untuk olah raga di negara kita masih jauh tertinggal dari negara tetangga. Menurut Sesmenpora Gatot S Dewa Broto anggaran pembinaan olah raga kita hanya sebesar 0,03 persen saja dari total APBN sedangkan Thailand dan Singapura menganggarkan 0,2 persen & 4 persen dari total APBN mereka.

Dengan alokasi anggaran yang cukup besar, negara tetangga memiliki lebih banyak pusat pembinaan olah raga terpadu yang memadukan antara olah raga dengan sains. Thailand sudah memiliki 6 pusat olahraga terpadu sedangkan Indonesia belum punya sama sekali. Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional di Hambalang dulu ditujukan untuk itu namun karena persoalan hukum jadi terhenti. Saya kira program ini harus kita lanjutkan kembali.

Kita sebagai rakyat Indonesia tentu berharap setelah pandemi ini usai dan pertumbuhan ekonomi membaik, pemerintah mulai memprioritaskan masa depan olahraga Indonesia. Bagaimanapun juga pembinaan bibit usia muda serta pembangunan sarana dan prasarana membutuhkan penambahan anggaran yang cukup besar. Bila pemerintah mau menggelontorkan anggaran sesuai kebutuhan dalam pembinaan atlit usia dini saya percaya kita akan kembali tampil menjadi Raja Olahraga di Asia Tenggara.

Facebook Comments
Komentar Facebook